Selasa, 09 Oktober 2007

MENANTIKAN SOKRATES BARU

Oleh: Yohanes Agus Setyono CM

Siapa itu Sokrates? Sokrates adalah filosof Yunani. Sesuai dengan arti disiplin filsafat (Philos=mencitai dan Sofia=kebijaksaan) yang ditekuni, Sokrates merupakan orang yang membaktikan seluruh hidupnya untuk mengejar kebijaksanaan hidup. Upaya itu terejawantahkan secara nyata dalam konsistensi dan keberaniannya untuk mendobrak aneka cetusan kedangkalan berpikir, ketidakadilan, dan aneka kepalsuan yang berkembang dalam jamannya. Sokrates mengembara, mencari, dan bertanya kepada siapa saja yang – menurut kebanyakan orang – memiliki reputasi sebagai orang bijak. Tetapi aktivitas ini ternyata bagi Sokrates justru malah menciptakan banyak musuh. Dan Sokrates lantas menjadi figur yang kontroversial. Kepada Sokrates banyak dihembuskan penilaian-penilaian yang negatif. Misalnya teman-temannya menuduh Sokrates sebagai penghasut kaum muda. Tuduhan yang serupa juga diajukan oleh Meletus. Meletus antara lain mengatakan bahwa Sokrates adalah koruptor, pengacau, dan perusak hidup kaum muda. Masih menurut Meletus Sokrates juga adalah “a complete atheist”(sungguh-sungguh ateis). Karena tuduhan-tuduhan inilah akhirnya Sokrates dijebloskan dalam penjara dan divonis hukuman mati. Sokrates mati karena kebobrokan cara berpikir dan kepalsuan hukum.

Apakah sokrates tidak malu mengakhiri hidupnya secara mengenaskan? Tidak! Karena Sokrates punya prinsip: “a man who is good for anything ought not to calculate the chance of living or dying” (seorang yang memiliki kebaikan dalam segala hal tidak bisa diukur menurut kesempatan untuk hidup atau mati). Dengan prinsip ini Sokrates hendak mengatakan bahwa demi keadilan, kebaikan dan kebenaran, serta kelayakan hidup publik, dia tidak takut mati. Apa yang ditakutkan oleh Sokrates hanya ini: melakukan kepalsuan dan kebobrokan. Oleh karena itu ancaman, sehebat apa pun, kendati itu harus berujung pada kematian, tidak menggentarkan Sokrates untuk terus melawan segala kebobrokan, kepalsuan, dan ketidakadilan.

Di depan pengadilan yang menjatuhkan vonis hukuman mati, Sokrates sempat mengatakan bahwa dia mempunyai keluarga dan anak-anak yang masih muda. Tetapi, Sokrates sekaligus menegaskan bahwa semua itu tidak akan dia gunakan untuk memohon dengan penuh belas kasih keringanan dan pembebasan hukuman yang diberikan kepadanya. Mengapa? Pertama-tama karena Sokrates memandang bahwa tindakan memohon belas kasih dalam perkara hukum merupakan tindakan yang discreditable. Kedua karena seorang hakim bukan bertugas untuk memberikan belas kasihan, melainkan untuk memberikan penilaian; dan seorang hakim telah bersumpah melakukan tugasnya selaras dengan hukum, dan bukan menurut kesukaannya.

Seperti yang dialami oleh Sokrates, bangsa Indonesia saat ini, termasuk di dalamnya dunia perburuhan, sungguh-sungguh sedang berhadapan dengan situasi, budaya, dan perilaku-perilaku yang sangat manipulatif-koruptif. Bahkan hukum dan peradilan yang merupakan benteng terakhir untuk upaya mencari keadilan dan kebenaran sudah tak terelakkan dari perilaku-perilaku semacam itu. Dalam konteks inilah kehadiran figur Sokrates, yang tidak pernah tunduk pada aneka bentuk kepalsuan dan selalu menjunjung tinggi kesetiaan pada kebenaran, mutlak diperlukan.

Tidak ada komentar: