Selasa, 09 Oktober 2007

PROSES PEMBENTUKAN CREDIT UNION

Oleh: Yohanes Agus Setyono CM

PANDANGAN YANG FATAL

Semenjak Pilar memuat suplemen tentang Credit Union, banyak sekali organisasi, serikat buruh, dan pribadi-pribadi, yang menyatakan rasa antusiasmenya terhadap terbentuknya Credit Union. Pada umumnya mereka mendesak kami untuk segera membentuk dan memulai Credit Union. Sebagai kelanjutan dari tulisan-tulisan tentang Credit Union yang dimuat dalam edisi Pilar sebelumnya (Edisi 11), saya akan memaparkan secara global tentang tahap-tahap yang diperlukan untuk memulai aktivitas Credit Union.

Namun sebelumnya saya ingin terlebih dahulu memberi penegasan mengenai merebaknya pandangan yang fatal mengenai Credit Union. Yaitu pandangan yang mengatakan bahwa Credit Union merupakan lembaga keuangan. Pandangan ini fatal, bukan hanya karena teralu menyempitkan identitas gerakan Credit Union, melainkan juga merupakan penyebab utama gagalnya gerakan Credit Union. Di banyak tempat, gerakan Credit Union mengalami kegagalan dan kekacauan, karena gerakannya didasarkan pada uang. Kalau tidak bisa disebut lembaga keuangan, lantas apa sebenarnya yang merupakan identitas Credit Union? Seperti yang sudah saya tegaskan dalam tulisan sebelumnya (Pilar edisi 11), Credit Union pertama-tama adalah alat gerakan sosial. Logika gerakannya kurang lebih seperti berikut ini:

Credit Union pertama-tama dimaksudkan sebagai wadah dan forum pendidikan dan pemberdayaan aspek-aspek kehidupan manusia.

Arahnya:

Dari aspek ekonomi:

1. Terbangun kearifan pengelolaan keuangan.

2. Tercipta lapangan kerja alternatif.

3. Ekonomi rumah tangga buruh semakin kokoh.

4. Tercipta sumber-sumber pembiayaan bersama (co-financing)

Dari aspek sosial-politik:

1. Swadaya sosial, budaya, dan politik buruh semakin kuat.

2. Buruh semakin sadar akan situasi ketertindasannya dan dengan demikian semakin sadar akan pentingnya memproteksi dan memperjuangkan hak-haknya.

3. Buruh tidak tergantung lagi pada pemerintah dan pengusaha.

Dari aspek pemberdayaan:

1. Buruh terikat oleh kesamaan visi dan misi.

2. Buruh memiliki sarana dan alasan untuk berhimpun.

3. Pemberdayaan buruh semakin mudah dirancang agar semakin sistematis dan terprogram.

Efeknya: Apa yang disebut dengan “people’s power” niscaya menjadi sebuah “possibility”. mau demonstrasi? silahkan! mau mogok berhari-hari? siapa takut! mau di phk? gak ngaruh! karena buruh sudah punya backing hidup, maka tidak perlu ragu dan takut lagi untuk menuntut dan memperjuangkan hak-haknya.

PROSES PEMBENTUKAN CREDIT UNION

Seperti yang sudah saya katakan (simak Pilar edisi 11), Credit Union dimulai melalui pendidikan, berkembang melalui pendidikan, dan bergantung pada pendidikan. Ingat, pendidikan, dan bukan uang! Berikut ini beberapa tahap yang harus kita lewati untuk memulai gerakan Credit Union.

1. Sosialisasi dan Penyadaran

Sosialisasi dan penyadaran diperlukan untuk pengenalan visi dan misi gerakan, serta pemaparan seluk beluk Credit Union. Arah yang dituju adalah munculnya wacana baru tentang hidup dan bagaimana menjalaninya. Agar tidak terjadi pembiasan dan penyempitan di sana sini, maka kegiatan ini harus difasilitasi oleh orang yang sungguh-sungguh mengenal dan mempunyai pengalaman dalam gerakan Credit Union.

2. Pendidikan Pengurus

Seperti layaknya sebuah lembaga atau organisasi, Credit Union juga memerlukan penanganan yang profesional. Tujuannya adalah agar gerakan Credit Union bisa tahap demi tahap semakin mengembangkan mutu atau kualitas hidup sesama yang menjadi anggota Credit Union. Untuk itu apa yang disebut dengan pendidikan dan pelatihan bagi para pengurus Credit Union merupakan suatu keharusan. Bentuk pendidikan dan pelatihan yang paling praktis dan mudah ditempuh adalah dengan cara magang di Credit Union yang sudah mantap gerakannya.

3. Recruitmen Anggota

Gerakan Credit Union merupakan gerakan yang terbuka terhadap siapa saja. Syarat utama untuk menjadi anggota Credit Union adalah memiliki komitmen untuk sungguh-sungguh membangun dan mengembangkan diri dan sesamanya, berani mengedepankan sikap solider, berani membangun paradigma baru untuk membangun hidup yang lebih bermutu. Rentetan syarat ini bisa ditumbuhkan melalui pendidikan sebelum menjadi anggota, dan pendidikan yang akan dilakukan secara berkala selama menjadi anggota.

4. Pendidikan Pengurus dan Anggota

Pendidikan bagi para pengurus dan anggota akan terus berlangsung. Program ini dilakukan antara lain agar para pengurus dan anggota semakin lama semakin memiliki kedalaman paradigma, kedalaman sikap, keterampilan, dan militansi dalam memperjuangkan hidup dan masa depannya.

CREDIT UNION DAN PEMBERDAYAAN BURUH

Oleh: Yohanes Agus Setyono CM


Sebelum berbicara mengenai Credit Union, saya ingin memaparkan beberapa penggalan pengalaman yang saya alami selama terlibat dalam pendampingan masyarakat miskin pada umumnya. Berikut ini beberapa cuplikannya:

Ø Seorang donatur berusaha mengumpulkan sejumlah dana untuk menolong kaum buruh. Dana itu dibagikan untuk modal usaha. Kenyataannya, usaha tidak jalan dan pertanggung-jawaban uang tidak ada. Apa yang bisa kita katakan? Upaya untuk menolong dan meningkatkan taraf hidup ekonomi buruh berakhir dengan kegagalan dan itu berarti buruh masih berada dalam situasi kemiskinan.

Ø Seorang dermawan dengan jaringan yang ia miliki mengupayakan sejumlah barang. Barang dibagikan untuk kaum buruh. Harapannya: kaum buruh terbebas dari kesulitan hidup dan bisa hidup lebih layak. Kenyataan: jumlah buruh yang miskin tidak berkurang, malahan usaha itu hanya menimbulkan ketergantungan: hari ini dibagi – besok habis – dibagi lagi – habis lagi – dan seterusnya. Sekali lagi, upaya pengentasan kemiskinan buruh masih berakhir dengan sebuah kegagalan. Saya katakan gagal antara lain karena ternyata upaya itu sama sekali tidak mampu mengangkat taraf ekonomi buruh.

Ø Sekelompok orang dan Serikat Buruh telah – dengan pelbagai cara – memulai pemberdayaan kaum buruh. Bukan main-main, dana dan tenaga yang dikeluarkan ternyata cukup besar. Ditambah lagi, aneka cetusan ide pemberdayaannya harus dikatakan sangat genial. Kadang-kadang sulit dibayangkan bahwa upaya yang baik dan genial itu ternyata juga berakhir dengan kemacetan-kemacetan. Tetapi itulah faktanya. Hari ini para serikat buruh membentuk aliansi, beberapa hari kemudian kita tidak tahu lagi seperti apa wujudnya aliansi itu. Ekstrim yang lain, mungkin sebagai sebuah aliansi keberadaannya masih ada, tetapi ternyata bukti konkrit dari sistem dan pola gerakannya masih sangat minimal. Konsekuensi dari lingkaran persoalan itu adalah: buruh tetap berada dalam situasi penindasan dan kemiskinan.

Ø Negara kita sudah dikuasai kaum kapital. Sistem yang diciptakan memaksa orang miskin untuk tetap miskin (contoh: soal penentuan harga pasar). Perundang-undangan sarat dengan kepentingan pengusaha dan negara, daripada pemberdayaan dan perbaikan nasib orang miskin.

Ø Dikalangan masyarakat sipil sendiri kita dapat melihat bahwa sesungguhnya sekarang kita sedang berada dalam situasi penindasan: Orang kaya menindas orang miskin. Dan orang miskin menindas orang miskin. Dengan kata lain penindasan – dengan aneka perwujudannya – telah menjadi tradisi dalam masyarakat kita.

Ø Di kalangan buruh sendiri kita menyaksikan bahwa kebanyakan buruh dan orang miskin pada umumnya tidak mempunyai sistem dan pola hidup yang efektif dan efisien. Sekurang-kurangnya bukti dari fenomena itu dapat saya rangkum dalam tiga pola hidup yang dikategorikan sebagai pola hidup orang-orang miskin:

  1. Hutang – dapat duit – bayar hutang – belanja – hutang lagi
  2. Dapat duit – belanja sampi habis (tanpa rencana)
  3. Dapat duit – belanja – menabung (kalau ada sisa)

Ø Sekarang saya mengajak Anda semua untuk melihat panorama yang lain. Sebelum terjun dalam dunia perburuhan, saya sempat tinggal di Pontianak. Selama di Pontianak saya berusaha menyempatkan diri untuk berkeliling di seluruh daerah Kalimantan Barat. Kesimpulan yang saya dapatkan adalah bahwa masyarakat Kalimantan Barat – kalau dibandingkan dengan kita yang hidup di darerah Jawa pada umumnya – dalam banyak hal masih berada dalam situasi ketertinggalan. Tertinggal mulai dari sisi tingkat pemerataan dan jenjang pendidikan, penyebaran informasi dan teknologi, tingkat ekonomi dan kesejahteraan, dan semacamnya. Tetapi di luar semuanya itu, saya melihat satu hal yang cukup signifikan, yaitu soal manajemen dan perencanaan hidup. Kalau dibandingkan dengan masyarakat buruh dan orang miskin di Jawa pada umumnya, masyarakat miskin di Kalimantan Barat jauh lebih unggul dalam hal sistem manajemen dan perencanaan hidup. Mungkin kalau sedang jalan-jalan di Kalimantan Barat, Anda akan melihat rumah-rumah yang sederhana, cara hidup yang sederhana. Tetapi sesungguhnya mayoritas dari mereka sudah memiliki gambaran yang kurang lebih agak jelas mengenai masa depan mereka, masa depan keluarga mereka dan anak-anak mereka. Sementara di Surabaya saya menjumpai pemandangan yang berbeda. Ketika bertemu dengan buruh, saya sempat melontarkan pertanyaan: “apa rencanamu 10 tahun ke depan?” Mereka menjawab: “yah... nggak tahu! Yang penting saya bisa bekerja dan bisa makan setiap hari.” Mereka yang berasal dari luar Jawa menambahkan: “yang penting saya bisa mengumpulkan uang untuk pulang kampung.” Apakah jawaban mereka salah? Tidak! Pertanyaan saya tidak ada hubungannya dengan soal jawaban benar atau salah. Tetapi jawaban-jawaban mereka jelas merepresentasikan sebuah hidup yang tidak memiliki sistem dan pola manajemen yang pasti.

1. Credit Union bukan satu-satunya.

Masyarakat miskin di Kalimantan Barat bisa memiliki sistem dan pola manajemen hidup yang jelas karena terlibat dalam Credit Union (CU). Apakah dengan demikian masyarakat yang tidak ikut Credit Union tetap miskin dan tidak memiliki sistem manajemen hidup yang jelas? Belum tentu! Bahkan saya berani mengatakan bahwa mereka yang ikut Credit Union juga belum tentu memiliki pola dan sistem manajemen hidup yang pasti. Dengan ini saya hendak menegaskan bahwa logika soal Credit Union tidak bisa dibalik begitu saja. Untuk konteks gerakan perburuhan, saya juga ingin menegaskan bahwa Credit Union bukanlah satu-satunya gerakan yang meniscayakan terlepasnya kaum buruh dari jerat ketidakadilan dan kemiskinan. Di luar Credit Union masih terbuka sederetan pilihan gerakan untuk pembebasan kaum buruh, mulai dari pendidikan advokasi dan hukum, pengembangan dimensi sosial dan politik, pengembangan dan pemberdayaan aliansi Serikat Buruh, dan seterusnya.

Lalu untuk apa saya berbicara tentang CU? Kita sekarang sedang berada dalam konteks perkembangan dunia yang sangat kompleks. Dunia perburuhan pun begitu sarat dengan dinamika persoalan yang tidak ringan. Pada titik ini gerakan pembebasan dan pemberdayaan buruh juga dituntut untuk semakin mengejawantah secara komprehensif. Maka sudah seharusnya pola gerakan perburuhan mencerminkan pendekatan “ini dan itu” dan bukan “ini atau itu”. Pendekatan “ini atau itu” berarti pendekatan yang memberi prioritas pada salah satu sisi, dan mengabaikan sisi yang lain. Sedangkan pendekatan “ini dan itu” adalah pendekatan yang berusaha mencakup bidang-bidang yang esensial bagi kehidupan buruh. Pola pendekatan “ini atau itu” selain tidak aktual, seringkali juga tidak menguntungkan buruh sendiri. Contohnya: Serikat Buruh berusaha membakar semangat buruh melalui gerakan advokasi. Sampai pada periode tertentu buruh sadar akan hak-haknya. Tetapi suatu saat perusahaan ditutup. Dan itu berarti buruh tidak lagi bekerja. Apakah gerakan advokasi bisa menjamin keberlangsungan hidup para buruh yang tidak bekerja? Contoh kedua: Serikat Buruh memfokuskan gerakan pada bidang pengembangan ekonomi. Sementara negara dan pengusaha bersekongkol menciptakan sistem pasar yang membelenggu perekonomian kecil. Apakah mungkin dalam situasi dan sistem yang tidak adil, gerakan pengembangan ekonomi bisa berkembang? Pada point inilah saya melihat mendesaknya gerakan Credit Union sebagai sistem dan pola pemberdayaan buruh yang komprehensif.

2. Apa itu Credit Union?

Kata Credit Union berasal dari bahasa latin, Credere yang berarti percaya dan Union yang berarti bersatu (mengikat diri dalam suatu kesatuan). Jadi Credit Union berarti kesatuan orang-orang yang saling percaya. Pondasinya adalah kepercayaan. Dan wujudnya adalah gerakan. Maksud saya, Credit Union sebenarnya bukanlah sebuah lembaga, melainkan sebuah gerakan yang didasari oleh sikap saling percaya. Tujuannya adalah untuk saling memberdayakan, memperkuat solidaritas, dan memperkokoh kesejahteraan masyarakat miskin (termasuk buruh). Pelakunya adalah anggota itu sendiri. Jadi CU menganut prinsip dari anggota, oleh anggota, dan untuk anggota. Dengan prinsip ini masyarakat (para buruh) diajak untuk sungguh-sungguh berperan aktif, dan bukan hanya menjadi penonton yang pasif, menunggu, dan menggantungkan nasibnya pada “belaskasihan” orang lain. Dengan demikian diharapkan para buruh semakin bertumbuh kembang menjadi pribadi-pribadi yang berkualitas, yang solider, yang mandiri, yang punya komitmen dan optimisme dalam membangun dan menatap masa depan.

3. Point komprehensif gerakan Credit Union.

CU sering dipahami sebagai lembaga keuangan. Tidak seluruhnya salah, tetapi pandangan itu terlalu sempit. Seperti yang telah saya katakan di atas, CU adalah gerakan. Dan point komprehensifnya CU justru terletak di sini, yaitu bahwa gerakan CU harus menyentuh dan meniscayakan upaya pemberdayaan di segala aspek kehidupan anggotanya, mulai dari aspek ekonomi, moral-sosial, politik, dan hukum, bahkan sampai pada aspek-aspek kerohanian. Sampai pada titik ini saya kira semakin kelihatan bahwa CU sebenarnya bukan merupakan lembaga keuangan, melainkan sebuah gerakan.

Sebagai sebuah gerakan CU tak terlepaskan dari pendidikan. CU bukanlah gerakan yang lahir dari uang. Sebaliknya CU adalah gerakan yang lahir dari pendidikan, berkembang melalui pendidikan, dan bergantung pada pendidikan. Tentu saja yang saya maksud adalah pendidikan yang komprehensif, atau pendidikan yang bersentuhan langsung dengan segala aspek kehidupan anggotanya, seperti yang telah saya katakan di atas. Tujuan utama pendidikan adalah untuk mengenal dan memperdalam seluk beluk Credit Union, penyamaan visi misi sebagai anggota Credit Union, perubahan-perubahan aspek mental, emosional, perubahan prinsip dan paradigma hidup.

4. Credit Union dalam dunia perburuhan.

Saya merangkum penerapan Credit Union untuk konteks perburuhan dalam beberapa aspek berikut ini:

Aspek ekonomi:

Ø Terbangun kearifan pengelolaan keuangan di kalangan buruh. Itu karena ketika menjadi anggota CU, melalui pendidikan dan pelatihan yang dilakukan secara berkala, para buruh akan diajari bagaimana mengelola keuangan secara efektif dan efisien.

Ø Buruh memiliki lapangan kerja alternatif. Saya yakin setiap buruh memiliki keunikan ketrampilan. Atau seandainya tidak memiliki ketrampilan, sekurang-kurangnya mereka pasti memiliki minat-minat atau bakat-bakat di bidang tertentu. Dengan menjadi anggota CU semua itu akan menjadi mungkin untuk diberi wadah dan dikembangkan. Dan itu berarti para buruh akan memiliki kesibukan di luar jam kerja mereka di perusahaan.

Ø Ekonomi rumah tangga buruh semakin kokoh. Dengan menjadi anggota CU para buruh dididik untuk menabung dan membuat sistem perencanaan keuangan. Dengan demikian pengeluaran uang buruh akan terkendali berdasarkan prioritas dan rencana-rencana mereka ke depan.

Ø Tercipta sumber-sumber pembiayaan bersama (co-financing). Melalui tabungan-tabungan dan proses perputaran uang di antara anggota CU, maka setiap anggota CU dimungkinkan untuk saling mendukung dan mengangkat perekonomian sesama anggotanya. Buruh yang memiliki ketrampilan dan ingin mengembangkannya, dengan adanya CU, tidak akan mengalami kesulitan lagi untuk mengembangkan ketrampilannya.

Aspek sosial-politik:

Ø Swadaya sosial, budaya, dan politik buruh semakin kuat. Sistem gerakan CU didasari oleh kesamaan visi dan misi, yang didukung oleh prinsip dari anggota, oleh anggota, dan untuk anggota. Melalui pendidikan dan pelatihan yang terus menerus, visi misi dan prinsip ini akan terus diperdalam, sampai akhirnya di antara anggota CU akan terbangun aneka kesadaran mengenai solidaritas, kepekaan sosial, budaya, dan bahkan pilitik.

Ø Buruh semakin sadar akan situasi ketertindasannya dan dengan demikian semakin sadar akan pentingnya memproteksi dan memperjuangkan hak-haknya. Pendidikan, pelatihan, dan proses interaksi yang terjalin di antara anggota CU akan dengan sendirinya membuka wacana para buruh akan situasi hidup sesamanya dan situasi sosial di sekitar mereka. Semakin terbukanya wacana diharapkan akan menumbuhkan kesadaran-kesadaran akan situasi riil hidup mereka, dan dari kesadaran-kesadaran itu diharapkan mereka memiliki semangat untuk secara bersama-sama memperjuangkan tata kehidupan yang lebih adil dan sejahtera.

Ø Buruh tidak tergantung lagi pada pemerintah dan pengusaha. CU juga menganut prinsip: “saya susah kamu bantu, dan kamu susah saya bantu”. Inilah yang disebut prinsip solidaritas dalam CU. Dengan demikian keanggotaan CU secara langsung akan menciptakan komunitas hidup bersama yang saling percaya, saling mendukung dan mandiri. Dan itu berarti mereka yang menjadi anggota CU tidak perlu lagi menggantungkan diri pada pemerintah dan pengusaha. Sebaliknya anggota CU akan memiliki kekuatan untuk melawan aneka kebijakan yang tidak adil yang dikeluarkan oleh pemerintah dan pengusaha.

Aspek pemberdayaan:

Ø Buruh terikat oleh kesamaan visi dan misi. Untuk sebuah gerakan persoalan kesamaan visi misi menjadi persoalan yang sangat fundamental. Sudah tak terhitung jumlahnya, gerakan menjadi macet dan gagal hanya karena tiadanya kesamaan visi misi. Melalui pendidikan dan pelatihan, para buruh yang tergabung dalam keanggotaan CU secara perlahan-lahan akan dibimbing untuk mengedepankan sebuah visi misi bersama.

Ø Buruh memiliki sarana dan alasan untuk berhimpun. Dalam dunia perburuhan kegiatan berhimpun atau berkumpul merupakan persoalan klasik yang sulit dipecahkan. Beberapa Serikat Buruh berhasil mengumpulkan para buruh, kadang-kadang bukan karena kesadaran buruh itu sendiri, melainkan karena paksaan dari Serikat Buruh. Sumber persoalannya saya kira masih soal kepentingan atau soal ketikdaksamaan visi misi, antara para buruh dan Serikat Buruh. CU dengan aneka cetusan gerakannya, dengan aneka format pendidikan dan pelatihannya, secara sistematis akan berusaha merombak kenyataan ini.

Ø Pemberdayaan buruh semakin mudah dirancang agar semakin sistematis dan terprogram. Ini adalah efek langsung jika para buruh memiliki kesamaan visi misi dan mudah diajak berkumpul. Dengan kedua hal itu saya yakin bentuk-bentuk perencanaan gerakan atau pembuatan program-program pengembangan dan pemberdayaan buruh akan mudah untuk dilaksanakan.

MENANTIKAN SOKRATES BARU

Oleh: Yohanes Agus Setyono CM

Siapa itu Sokrates? Sokrates adalah filosof Yunani. Sesuai dengan arti disiplin filsafat (Philos=mencitai dan Sofia=kebijaksaan) yang ditekuni, Sokrates merupakan orang yang membaktikan seluruh hidupnya untuk mengejar kebijaksanaan hidup. Upaya itu terejawantahkan secara nyata dalam konsistensi dan keberaniannya untuk mendobrak aneka cetusan kedangkalan berpikir, ketidakadilan, dan aneka kepalsuan yang berkembang dalam jamannya. Sokrates mengembara, mencari, dan bertanya kepada siapa saja yang – menurut kebanyakan orang – memiliki reputasi sebagai orang bijak. Tetapi aktivitas ini ternyata bagi Sokrates justru malah menciptakan banyak musuh. Dan Sokrates lantas menjadi figur yang kontroversial. Kepada Sokrates banyak dihembuskan penilaian-penilaian yang negatif. Misalnya teman-temannya menuduh Sokrates sebagai penghasut kaum muda. Tuduhan yang serupa juga diajukan oleh Meletus. Meletus antara lain mengatakan bahwa Sokrates adalah koruptor, pengacau, dan perusak hidup kaum muda. Masih menurut Meletus Sokrates juga adalah “a complete atheist”(sungguh-sungguh ateis). Karena tuduhan-tuduhan inilah akhirnya Sokrates dijebloskan dalam penjara dan divonis hukuman mati. Sokrates mati karena kebobrokan cara berpikir dan kepalsuan hukum.

Apakah sokrates tidak malu mengakhiri hidupnya secara mengenaskan? Tidak! Karena Sokrates punya prinsip: “a man who is good for anything ought not to calculate the chance of living or dying” (seorang yang memiliki kebaikan dalam segala hal tidak bisa diukur menurut kesempatan untuk hidup atau mati). Dengan prinsip ini Sokrates hendak mengatakan bahwa demi keadilan, kebaikan dan kebenaran, serta kelayakan hidup publik, dia tidak takut mati. Apa yang ditakutkan oleh Sokrates hanya ini: melakukan kepalsuan dan kebobrokan. Oleh karena itu ancaman, sehebat apa pun, kendati itu harus berujung pada kematian, tidak menggentarkan Sokrates untuk terus melawan segala kebobrokan, kepalsuan, dan ketidakadilan.

Di depan pengadilan yang menjatuhkan vonis hukuman mati, Sokrates sempat mengatakan bahwa dia mempunyai keluarga dan anak-anak yang masih muda. Tetapi, Sokrates sekaligus menegaskan bahwa semua itu tidak akan dia gunakan untuk memohon dengan penuh belas kasih keringanan dan pembebasan hukuman yang diberikan kepadanya. Mengapa? Pertama-tama karena Sokrates memandang bahwa tindakan memohon belas kasih dalam perkara hukum merupakan tindakan yang discreditable. Kedua karena seorang hakim bukan bertugas untuk memberikan belas kasihan, melainkan untuk memberikan penilaian; dan seorang hakim telah bersumpah melakukan tugasnya selaras dengan hukum, dan bukan menurut kesukaannya.

Seperti yang dialami oleh Sokrates, bangsa Indonesia saat ini, termasuk di dalamnya dunia perburuhan, sungguh-sungguh sedang berhadapan dengan situasi, budaya, dan perilaku-perilaku yang sangat manipulatif-koruptif. Bahkan hukum dan peradilan yang merupakan benteng terakhir untuk upaya mencari keadilan dan kebenaran sudah tak terelakkan dari perilaku-perilaku semacam itu. Dalam konteks inilah kehadiran figur Sokrates, yang tidak pernah tunduk pada aneka bentuk kepalsuan dan selalu menjunjung tinggi kesetiaan pada kebenaran, mutlak diperlukan.

ATURAN HARUS MENGABDI MANUSIA

Oleh: Yohanes Agus Setyono CM


Konsolidasi dan aksi menuntut kenaikan UMK tahun 2007 sudah beberapa kali dilakukan oleh pelbagai aliansi serikat pekerja. Tetapi sampai detik ini pemerintah daerah dan propinsi belum menunjukkan tanda-tanda niat baiknya untuk mendengarkan tuntutan itu. Belum adanya kesepakatan dialog itu terjadi karena masing-masing pihak cenderung bertahan pada posisi dan prinsipnya masing-masing. Pihak buruh berpendapat bahwa penentuan UMK tahun 2007 masih di bawah standart kehidupan layak. Sementara pemerintah mengklaim bahwa keputusan mengenai UMK tahun 2007 sudah diambil berdasarkan prosedur dan aturan yang benar. Bertolak dari pengakuan pihak pemerintah ini, kemudian pihak buruh mempertanyakan soal validitas hasil survey UMK tahun 2007. Pihak buruh berpendapat bahwa hasil survey yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan tingkat daerah tidak valid. Pendapat ini muncul karena pihak buruh berhasil menemukan pelbagai macam kejanggalan dalam proses survey, mulai dari soal waktu yang terlalu singkat, banyak point-point kebutuhan yang tidak disurvey, sampai pada proses survey yang dilakukan secara tertutup. Aneka temuan ini, rupanya tidak membuat pihak pemerintah berusaha merubah sikapnya. Malahan mereka menegaskan bahwa hasil survey itu valid, bukan hanya karena prosesnya yang sudah sesuai aturan, melainkan juga karena sudah dilakukan dan diputuskan oleh unsur-unsur yang harus ada dalam Dewan Pengupahan, yaitu unsur pemerintah, buruh, dan pengusaha.

Di luar perbebatan di atas saya ingin menyodorkan fakta yang lain, yaitu kesaksian seorang hidup seorang teman. Setelah lima tahun bekerja di sebuah pabrik sepatu di kawasan Surabaya Utara, Sumirah tetap saja menempati kamar kost 2 x 2,5 meter, dan tak memiliki apa-apa juga dikampungnya. Keadaan buruh yang satu ini membangkitkan pertanyaan, apa yang menyebabkan kehidupannya sama sekali tak berubah. Orang bisa mengadilinya dengan malas, tak mau menabung, mungkin untuk foya-foya, dan sebagainya. Jawaban atas semua pertanyaan itu adalah pada kenyataan yang ia pertanyakan balik, "Uang 315.000 sebulan saat ini dapat apa Mas?" Sumirah hanya salah satu dari ribuan buruh Surabaya yang tak pernah menyentuh angka Upah Layak. la masuk kerja 5 tahun lalu dengan upah 8.000 per hari, berarti 208.000 per bulan. Kini ia menyentuh 12.120 per hari. la memaksa cukup hidup dengan angka tersebut sebagai uang makan, uang kost, uang untuk berpakaian, dana beli bedak seadanya. Bisa dimengerti kalau ia tak pernah membuktikan janjinya pada keluarga untuk mengirimkan sedikit biaya sekolah 3 adiknya di kampung. Ribuan buruh hidup jauh dibawah standart hidup layak.

Hukum dan nilai martabat manusia

Dengan dua fenomena di atas saya ingin mengatakan satu hal, yaitu soal martabat manusia di hadapan hukum dan aturan. Ada pepatah yang mengatakan “hukum dibuat untuk manusia, dan bukan manusia untuk hukum.” Hidup manusia tidak bisa dilepaskan dari hukum. Itu jelas. Karena tanpa hukum, apa yang disebut dengan tata hidup bersama, dengan segala aspek yang menyertainya, pasti tidak akan jalan. Akan tetapi kalau manusia terlalu terpaku pada hukum dan aturan , maka tata hidup bersama pun juga tidak akan jalan. Hukum dan aturan tidak pernah dibuat demi hukum itu sendiri. Sebaliknya Hukum dan aturan harus selalu merujuk pada nilai-nilai martabat manusia. Oleh karena itu, ketika sebuah produk hukum atau aturan ternyata malah menindas, tidak adil, dan memandang rendah manusia, maka adalah hak setiap manusia untuk melawannya.

Logika pemerintah

Sekarang marilah kita membandingkan logika hukum seperti yang saya paparkan di atas dengan logika hukum yang diterapkan oleh pemerintah: sebuah keputusan dikatakan valid kalau berdasarkan prosedur (survey). Nilai UMK 2007 sudah dilakukan dengan mengikuti prosedur. Kesimpulannya, penetapan nilai UMK 2007 adalah valid. Logika pemerintah ini sama halnya dengan logika berikut ini: kalau hujan, maka tanah-tanah akan basah. Hari ini tanah-tanah basah. Kesimpulannya, hari ini telah turun hujan. Apakah menurut anda kesimpulan ini benar?

Dengan logikanya, pemerintah sebenarnya telah membuat kesalahan yang sangat fatal. Itu terjadi karena pemerintah hanya mendasarkan keputusannya pada tataran aturan atau prosedur yang ada, terlepas apakah aturan atau prosedur itu sesuai dengan fakta atau tidak.